NASIONAL – Di tengah gencarnya upaya menjaga standar etik dan independensi profesi wartawan, muncul fenomena yang meresahkan di sejumlah daerah.
Sejumlah individu yang mengaku wartawan ternyata juga bekerja sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Praktik merangkap jabatan ini tak hanya bertentangan dengan etika jurnalistik, tetapi juga mengancam integritas profesi yang seharusnya bebas dari kepentingan lain.
Fenomena ini semakin mengkhawatirkan saat wartawan yang bersangkutan membawa kartu identitas LSM, berganti peran sesuai dengan kebutuhan—kadang bertindak sebagai wartawan, kadang sebagai aktivis.
Hal ini tak hanya membingungkan publik, tetapi juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang merusak citra dan kredibilitas media.
Menurut seorang pemerhati media, praktik ini mengancam prinsip dasar kode etik jurnalistik. “Wartawan harus menyampaikan informasi yang akurat dan berimbang, sementara LSM berfokus pada advokasi dengan kepentingan tertentu. Keduanya tidak boleh dicampur adukkan,” tegasnya.
Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawasi dunia jurnalistik, telah menegaskan bahwa wartawan tidak boleh merangkap menjadi pekerja LSM.
Ketua Komisi Pengaduan dan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menekankan pentingnya independensi wartawan dalam menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh agenda tertentu.
“Wartawan harus bebas dari kepentingan di luar kerja jurnalistik, tidak boleh terlibat dalam aktivitas advokasi yang bertentangan dengan prinsip jurnalistik,” jelasnya.
Aturan ini tercantum dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2010, yang menegaskan bahwa wartawan wajib menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam kepentingan lain selain tugas jurnalistik.
Praktik merangkap jabatan ini telah mencoreng citra profesi jurnalistik dan merugikan banyak pihak, termasuk media dan narasumber yang menjadi korban tekanan.
Bagi banyak wartawan profesional, fenomena ini sudah bukan sekadar masalah biasa, melainkan ancaman serius terhadap kredibilitas dunia pers.
Sejumlah wartawan senior di Papua mengungkapkan kekhawatirannya akan dampak buruk dari fenomena ini. Mereka menilai banyak pihak yang dirugikan akibat penyalahgunaan label “wartawan” oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, oknum yang mengaku wartawan sering kali melakukan intimidasi terhadap narasumber demi kepentingan tertentu. Padahal, prinsip utama dalam jurnalistik adalah verifikasi, objektivitas, dan keberimbangan.
Jika wartawan mulai bertindak sebagai aktivis, kepercayaan publik terhadap media akan tergerus.
Untuk itu, Dewan Pers mengimbau agar media lebih ketat dalam mengawasi wartawan mereka. Profesionalisme wartawan harus dijaga agar profesi ini tetap menjadi pilar demokrasi yang dipercaya publik. Jika tidak, jurnalisme akan kehilangan maknanya sebagai penyampai informasi yang independen dan objektif. (*)