LUWU UTARA – Sejumlah orang tua siswa di UPT SMP Negeri 1 Bone-Bone angkat bicara terkait kondisi fasilitas sekolah yang dinilai memprihatinkan. Mereka menyuarakan kekecewaan setelah pihak sekolah disebut-sebut meminta orang tua untuk urunan membeli kipas angin dan cat tembok guna memperbaiki ruang kelas.
Permintaan tersebut sontak memicu keresahan, terutama di kalangan orang tua dari keluarga kurang mampu.
“Setiap tahun, sekolah ini menerima dana BOS sekitar Rp600 juta. Tapi kenapa kami masih diminta beli kipas dan cat untuk kelas anak kami, Kemana perginya dana sebesar itu?” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Keluhan ini bukan sekadar sentilan ringan. Orang tua mempertanyakan transparansi penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang seharusnya digunakan untuk menunjang sarana dan prasarana sekolah, termasuk kenyamanan ruang belajar.
Beban tambahan yang dibebankan kepada wali murid ini dianggap menyalahi semangat dana BOS yang dirancang untuk meringankan biaya pendidikan masyarakat.
Ironisnya, bukan hanya fasilitas dasar seperti kipas angin yang jadi masalah. Cat dinding pun harus diupayakan oleh orang tua siswa. Padahal, kebutuhan itu jelas masuk dalam kategori yang bisa dibiayai dari dana BOS sesuai petunjuk teknis yang ada.
Saat dikonfirmasi, Kepala UPT SMPN 1 Bone-Bone, Nur Wahida, menyampaikan klarifikasi bahwa pengumpulan dana bukan inisiatif sekolah, melainkan dari orang tua siswa melalui kelompok parenting.
“Ini bukan paksaan. Pihak sekolah tidak mengumpulkan dana, itu murni dari orang tua siswa sendiri dan bersifat sukarela,” tulisnya melalui WhatsApp, Kamis (31/7/2025).
Ia menambahkan, dana BOS telah dibelanjakan sesuai petunjuk teknis dan berdasarkan skala kebutuhan. Beberapa kegiatan seperti keagamaan dan perayaan hari besar, menurutnya, memang tidak boleh dianggarkan lewat BOS sehingga harus dibiayai secara mandiri.
Namun, klarifikasi tersebut tak sepenuhnya meredam keresahan orang tua. Banyak yang menilai, alih-alih mendorong partisipasi, praktik semacam ini justru menunjukkan lemahnya tata kelola dan perencanaan kebutuhan sekolah.
Jika dana BOS ratusan juta tidak mampu menghadirkan fasilitas dasar seperti kipas angin di ruang kelas, maka wajar jika publik mulai mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan pengelolaan anggaran sekolah.